Jakarta – Dalam suasana yang sering kali memilukan dan penuh kontroversi, masalah kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi titik fokus yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengutarakan pandangannya yang tegas terhadap penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual, yang menurutnya, tidak cukup hanya dengan menikahkan korban dengan pelaku sebagai upaya penutupan aib.
“Ada beberapa model penyelesaian (kekerasan seksual), belum tentu pihak korban setuju, namun kemudian terpaksa dilakukan, misalnya diselesaikan dengan cara dinikahkan, padahal belum tentu dengan dinikahkan masalah selesai. Namun, terpaksa dilakukan untuk menyelesaikan atau menutupi aib,” Listyo mengemukakan hal tersebut saat menghadiri Tanwir 1 Aisyiyah di Jakarta, Rabu.
Selanjutnya, dalam rangka penanganan kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat, Kapolri mengungkapkan tentang pembentukan Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang (PPA-PPO) oleh Polri. “Kami menyampaikan tentang pentingnya ada direktorat khusus yang menangani perempuan dan anak. Alhamdulillah, saat itu Presiden Jokowi setuju, sekarang Polri berhasil membentuk Direktorat Perempuan dan Anak,” Listyo menyatakan.
Kepolisian Republik Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan Direktorat PPA-PO hingga ke tingkat Polda dan Polres, di mana ini adalah langkah progresif Perlindungan korban kekerasan seksual dan terbukanya Pemberdayaan polwan. “Kami ingin direktorat ini tidak hanya di Mabes Polri, tetapi bisa kami kembangkan sampai Polda dan Polres. Saat ini kami sedang proses mengembangkan harmonisasi sampai ke Kemenpan-RB,” imbuhnya lebih lanjut.
Lebih jauh lagi, Kapolri menyampaikan bahwa berdasarkan data dari Komnas Perempuan dan Anak, korban kekerasan seksual wanita empat kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan jumlah korban anak hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan korban dewasa.
Dalam periode lima tahun terakhir, terdapat 105.475 kasus terkait dengan perempuan dan anak, dengan tingkat tertinggi salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sigit memperjelas, “Angka ini bukan sebenarnya, karena di Indonesia masih banyak korban yang enggan melapor. Sebagian melihat kalau saya melaporkan, ini aib buat saya, kalau saya melaporkan, saya bisa menjadi korban kedua kali.”
Mengatasi keengganan melapor ini, Kapolri memandang perlu pertanyaan-pertanyaan terkait kasus kekerasan seksual diajukan oleh polwan. “Kalau yang menangani polisi laki-laki, pada saat ditanya untuk BAP, ada potensi korban tertekan, karena pertanyaan-pertanyaan ini sangat sensitif, dan lebih bagus pertanyaan tersebut diajukan oleh polwan,” ujar Kapolri.
Menyinggung Hak asasi perempuan dan isu kesetaraan gender, Kapolri mengingatkan tentang perjuangan gender yang telah lama berlangsung di Indonesia. Dengan mengambil inspirasi dari tokoh perempuan seperti Raden Ajeng Kartini, Kapolri menekankan pentingnya Kesetaraan dan Keadilan untuk korban kekerasan seksual.
Dalam upaya nyata menghadirkan kesetaraan gender dan Pendidikan anti kekerasan, Polri telah menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender di Lingkungan Polri. Kebijakan Pengarusutamaan Gender ini mengindikasikan pintu terbuka bagi polwan untuk berkarier, baik di bidang operasional maupun staf, serta mengharapkan untuk mencapai Keadilan untuk korban kekerasan melalui reformasi internal dan eksternal.
Oleh karenanya, evaluasi yang dilakukan Kapolri Listyo Sigit Prabowo terhadap penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan langkah-langkah proaktif yang diperlukan untuk memberikan keadilan dan membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat Indonesia.