Jakarta – Upaya penyelundupan narkotika jenis sabu dengan jumlah 135 kilogram, telah berhasil digagalkan oleh Direktorat Tindak Pidana Narkoba (Dittipidnarkoba) Bareskrim Polri di Aceh. Penangkapan ini diduga kuat memiliki keterkaitan dengan jaringan Fredy Pratama yang telah lama menjadi target penegakan hukum narkoba.
“Kami menerima informasi bahwa ada penyelundupan narkotika dari Thailand. Kemungkinan besar ini merupakan barang milik Fredy Pratama,” kata Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri, Brigjen Mukti Juharsa kepada para wartawan.
Komunikasi dari Fredy Pratama dipahami telah mengalami perubahan untuk mengelak dari kejaran aparat. “Fredy masih mempertahankan jaringannya di Indonesia. Kami mendeteksi bahwa ia terus berupaya memperkuat sindikasi ini,” ujar Mukti.
Aparat penegakan hukum tidak hanya fokus pada penangkapan pelaku di lapangan, tetapi juga pada strategi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk melacak aliran dana yang bisa membawa pada Fredy Pratama. “Melalui TPPU, semua dapat terungkap. Kalau hanya menangkap pelaku di lapangan, mereka tidak akan mengaku. Namun, jika kita menelusuri rekening mereka, pasti ujungnya mengarah ke Fredy Pratama,” jelas Mukti.
Meski Fredy masih dipercaya berada di Thailand, kolaborasi antara aparat Indonesia dan Thailand terus dijalankan. “Kami belum bisa menjangkau dia. Fredy adalah gembong besar yang sulit disentuh oleh pemerintah Thailand,” ungkap Mukti. Fredy Pratama yang masuk DPO sejak 2014, menjadi incaran Tim Khusus Escobar Indonesia yang juga didukung kepolisian Thailand dan DEA Amerika.
Operasi anti narkoba yang terjadi pada tanggal 7 dan 8 Februari 2025 menghasilkan penangkapan empat orang warga Aceh. Keempat tersangka yang berinisial I, F, E, dan M ini ditangkap di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Lhoksukon. “Para pelaku semuanya warga Indonesia, berasal dari Aceh. Saat ini, mereka telah diamankan,” kata Mukti.
Berbagai barang bukti berhasil disita, termasuk sabu yang dikemas dalam teh China, perahu, boat, ponsel satelit, perangkat Garmin, ponsel Android, dan satu unit mobil. Barang tersebut diketahui direncanakan untuk diedarkan di beberapa kota besar di Indonesia.
Kini, keempat tersangka berada di Rutan Bareskrim Polri, Jakarta Selatan. Mereka dijerat dengan pasal-pasal yang memungkinkan hukuman pidana mati atau paling ringan lima tahun penjara serta denda Rp10 miliar.