Jakarta – Eks-Kapolres Ngada, FWLS, resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri dalam kasus kekerasan seksual anak di bawah umur yang mengguncang publik.
Penetapan ini diungkapkan dalam konferensi pers yang diadakan oleh Divisi Humas Polri pada hari Kamis, tanggal 13 Maret. Dikemukakan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku dilaksanakan dengan serius, meliputi penerapan kode etik profesi kepolisian dan penindakan pidana.
“Polri konsisten dan berkomitmen menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh personel, termasuk yang berkaitan dengan pelanggaran peraturan perundang-undangan, terutama yang menyangkut perlindungan anak,” tegas Brigjen. Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko, Karo Penmas Divisi Humas Polri.
Dalam kasus yang melibatkan tiga anak berusia 6, 13, dan 16 tahun serta seorang dewasa berinisial SHDR (20), FWLS dituduh melakukan pelecehan seksual, penyalahgunaan narkoba, hingga penyebaran konten pornografi anak.
Tindakan pidananya pun diproses dengan serius, mengikuti prosedur hukum yang berlaku, termasuk penerapan Scientific Crime Investigation dalam penyidikan.
Brigjen Pol. Agus, Karo Wat Prof Divisi Propam Polri, menjelaskan, “FWLS telah menjalani proses kode etik di Propam Polri sejak 24 Februari 2025. Sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dijadwalkan pada 17 Maret 2025, dengan ancaman sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).”
Lebih lanjut, dalam konfrontasi pidana, Dir Tipid Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji mengatakan, “Barang bukti berupa tiga unit handphone telah diamankan dan sedang diperiksa di laboratorium digital forensik.”
Tersangka juga terancam dengan jerat hukum yang berlapis-lapis, termasuk pelanggaran UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan juga Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 1 Tahun 2024, dengan ancaman hukuman maksimal hingga 15 tahun penjara dan denda sampai Rp1 miliar.
Transparansi penanganan kasus kriminal ini dijaga ketat oleh pihak Kompolnas. “Kami memastikan bahwa penanganan kasus ini dilakukan secara profesional dan sesuai aturan. Kami juga mendorong sidang kode etik segera dilaksanakan serta proses pidana berjalan tanpa hambatan,” ujar Irjen Pol. (Purn.) Ida Utari dari Kompolnas.
Korban, yang merupakan anak-anak, mendapat perhatian khusus dari berbagai lembaga perlindungan anak dalam hal dukungan psikososial dan hukum.
Pendampingan ini diungkapkan oleh Aimariati Solihah, Ketua KPAI, “Kami telah berkoordinasi dengan Kemensos dan Kemen PPPA untuk memastikan korban mendapatkan perlindungan dan pemulihan trauma.”
Sementara itu, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, menegaskan komitmen negara dalam perlindungan hak-hak korban.
Polda NTT bersama dengan Bareskrim Polri saat ini sedang mengambil langkah-langkah untuk melengkapi berkas perkara dan melanjutkan proses hukum hingga ke persidangan.
Brigjen. Trunoyudo Wisnu Andiko menuturkan, “Kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara profesional, transparan, dan akuntabel. Tidak ada kompromi terhadap pelanggaran hukum, apalagi yang menyangkut perlindungan anak.”